Angin semilir
berhembus, membuat daun – daun di pinggir jalan jatuh terpisah dari ranting
keringnya, sementara bulan masih bersinar terang, sinarnya begitu indah
menemani keindahan gemerlap jutaan bintang.
Ibu Naila terbangun dari tidurnya, matanya menatap ke
setiap sudut kamarnya. Wanita berusia tiga puluh tahun itu merasa ada yang
tidak beres. Tiba – tiba matanya terpaku melihat Nadia tidak ada di sampingnya.
Anak semata wayang yang senantiasa berada dalam pelukannya telah tiada. Jantungnya
berdetak kencang ketika membayangkan apa yang sedang di alami oleh Nadia. Ia tak
bisa membirkan anaknya yang begitu lemah menghilang dari pelukannya.
“ Nadia……! kau dimana
nak?”. Ibu Naila berteriak memanggil anaknya.
“ Krieek….”. Terdengar pintu
kamar terbuka.
“ Bentar Bu…………! Ibu tidur
saja dulu, Nadia ingin membuatkan Ibu kopi”. Ucap Nadia sambil tersenyum di
sela pintu yang terbuka.gadis berusia sepuluh tahun itu terlihat begitu manis,
baru kali ini dia akan membuatkan secangkir kopi untuk Ibunya.
“ Ya Allah, apakah ini
sebuah keajaiban, apakah dia benar – benar Nadia”. Ibu Naila berbisik dalam
hati, sementara kedua matanya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja
dilihatnya.
“ Ibu, ini kopi buatan Nadia
untuk Ibu”. Nadia masuk kedalam kamar, tangannya membawa secangkir kopi,
kakinya terus melangkah mendekati Ibunya yang masih berbaring di ranjang.
“ Nadia, bagaimana bisa
kamu membuatkan ibu kopi?”.
“ Ibu tidak perlu
bertanya, Ibu minum saja kopi ini dan bagaiman rasanya?”. Ucap Nadia
“ Ya Allah, apakah aku
benar – benar bermimpi. Apakah ini sebuah keajaiban yang kaau berikan kepadku”.
Ibu Naila berbisik dalam hati, belum ada kepercayaan yang kuat dalam dirinya
untuk menerima kejadian yang baru dilihatnya.
“ Buk, bangun Buk, maaf
Pak Andre menelfon”. Suara Bi Surti terdengar begitu jelas di telinga Ibu Naila.
“ Ya Allah, ternyata
aku hnya bermimpi”. Ucap Ibu Naila pelan, di pandangnya wajah Nadia yang masih
terlelap di samping kirinya.
“ Bu ada telefon dari Pak
Andre”. Bi Surti kembali bersuara mengingatkan Ibu Naila.
“ Oh iya Bi Surti,
terimakasih”. Ucap Ibu Naila kepada pembntunya.
Sudah menjadi kebiasaan ketika waktu sudah menjelng
subuh, Pak Andre selalu menelfon istrinya. selain untuk membangunkan waktu
sholat, tak lupa kabar tentang keadaan Nadia selalu menjdi pembicaraan setiap
kali Pak Andre menelfon. sudah tiga hari ini Pak Andre tak bertemu dengan Nadia,
Dinas luar kota selalu menghalangi mereka untuk terus bersama. Tapi siapa lagi
yang akan mengusrus perekonomian keluarga jika bukan Pak Andre.
Ibu Naila sekeluarga
tinggal di rumah berlantai dua yang begitu mewah dan megah, di sana hanya ada Ibu
Naila, Nadia dan ketiga pembantunya, termasuk Bi Surti yang sudah menjadi
pembantu setia selama dua puluh tahun di rumah itu. sementara Pak Andre selalu
pulang pergi dan jarang sekali di rumah. jika di lihat keluarga itu terlihat
begitu sempurna dan bahagia, tapi sebenarnya hanya sedikit sekali kebahgiaan
yng dirasakan. itu semua terjadi ketika Nadia lumpuh pada saat berusia lima tahun,
ia mengalami pembekuan syaraf di seluruh tubuhnya, hanya perasaan, pikiran,
mata, lidah dan telinganya yang mampu merasakan ketidak berdayaan tubuhnya. Akan
tetapi tubuh yang lemah tak membuat semangat hidup Nadia turut lemah. Ia selalu
berkata bahwa suatu saat nanti ia akan berlari di antara Ibu dan Ayahnya.
menghapus beban penderitaan yang selama ini di rasakannya dan kedua orang
tuanya.
*************
Di setiap hari Nadia akan selalu terbaring di ranjang dan
ditemani oleh Ibunya dan Bi Surti, semangat Ibunyalah yang selalu membuat Nadia
bisa bertahan di setiap tangisnya, mengangkat rasa ketakutan yang selalu
terlihat di pelupuk matanya, membakar gambaran - gambaran masa depan yang tak
pernah dimilikinya, mencairkan setiap nafas yang hampir saja membeku oleh
ketidak berdayaanya, dan dalam setiap situasi apapun Ibu Naila akan memberikan
semangat untuk hidup bagi Nadia.
di setiap pagi Ibu Naila akan senantiasa memberikan
senyuman kasih sayangnya, menyeka tubuh anaknya, dan menyisir rapi setiap
helaian rambut anaknya, sementara Bi Surti akan selalu menyanyikan lagu – lagu
yang Nadia suka.
di setiap malam Nadia akan selalu di temani Ibunya,
membiarkan lampu kamar tetap terang hingga pagi datang menjelma.
Dua hari dalam seminggu, Pak Andre akan mengajak Nadia
bercanda dan tertawa, membacakan cerita – cerita lucu yang selalu membuat Nadia
tersenyum gembira, membiarkan rasa lumpuh itu sirna di telan sebuah kata lupa.
di setiap siang Nadia akan belajar membaca, belajar
menjadi orang yang kuat, dan belajar mengenal kasih sayang sang pencipta
kepadanya.
*************
Jam dua belas malam,
hujn rintik – rintik terdengar berisik di antara daun – daun yag terhempas oleh
angin. kini Nadia terbaring di samping kiri ibunya yng tertidur begitu nyenyak,
perlahan mata Nadia sedikit demi sedikit mulai terbuka, air bening mengalir
deras di kedua kelopak matanya, entah apa yang dirasakannya pada malam itu,
jari – jari di kedua tangannya mulai bergerak. sementara bibirnya menggerang
menahan rasa sakit yang luar bisa, sedikit demi sedikit ia mulai berusaha
mengangkat tubuhnya dengan kedua sikunya, air matanya terus meleleh hingga ia
berhasil duduk dengn sempurna. Beberapa detik kemudian ia merasa separuh
tubuhnya telah kembli sempurna. dengan mudah ia bisa mengangkat dan menggerak – gerakkan kedua tangannya. tak
ada lagi rasa sakit yng dirasakannya ketika tangannya bergerak.
“ Ibu, bangun Buu….!
sekarang tangan Nadia bisa bergerak”. Ucap Nadia sambil mengusap air matanya.
“ Ibu, ayo bangun”. Nadia
menyentuh kening Ibunya hingga Ibu Naila terbangun dan menyadari keajaiban itu
benar – benar nyata di hadapannya.
****************
Matahari mulai terbit, sinar kemerahannya memancar
mengawalai bertambahnya umur Nadia menjadi sebelas tahun. kini gadis kecil itu
tak lagi terbaring di ranjang, bibir merahnya tersenyum dengan sempurnah.
tangan kanannya mengaduk secangkir kopi
yang pertama kali dibuatnya. walaupun kakinya belum bisa berdiri, tapi kursi
roda membuatnya bisa berjalan kemana saja dia suka.
“ ibu, Nadia membuat secangkir
kopi untuk ibu”. ucap Nadia di hadapan ibunya.
