Sunday, 21 December 2014

CINTAmu Membunuhku "Part 3"

Aku Ayyas, dan Mbak Titin

Jakarta, awal bulan juli. Musim kemarau telah membuat area persawahan mongering. Tak ada padi yang tertanam, parit-parit pun mongering tanpa genangan air sedikitpun. Tanaman kacang hijau telah tumbuh dan siap untuk dipanen, buahnya sudah mulai menghitam, sementara ulat-ulat berwarna hijau bertebaran menikmati daun-daun kacang hijau yang masih segar dan belum mongering.
“kak lihat ada banyak ulat disini”. Ayyas, adi kecilku itu memanggil, umurnya sudah tujuh tahun, rambutnya lurus terurai kedepan.
“dimana…?”. Tanganku mulai berhenti memetik buah kacang hijau, sementara kakiku melangkah mendekati ayyas.
“sini kak, cepat lihat. Hiiii aku tidak berani memegangnya”. Ayyas melompat girang sambil tangan kanannya menunjuk kea rah beberapa ulat yang memakan daun kacang.
“iya yas, ulatnya banyak sekali, ayo kita panggil mbk titin”. Ucapku pada ayyas.
“Mbak titin cepat kesini, ada banyak ulat”. Ayyas berteriak memanggil mbak titin.

Mbak titin adalah kakak perempuanku, umurnya baru enam belas tahun, setelah lulus SMP tahun kemarin ia putus sekolah, semua itu terjadi karena kedua orang tuaku tak lagi mampu menyekolahkannya. maklum, kedua orang tuaku hanya bekerja sebagai petani. Sementara aku dan ayyas masih membutuhkan biaya sekolah. Bisa dikatakan keluarga kami adalah keluarga miskin.
“kalau kalian lihat ulat nggak usah takut, nih lihat mereka hanya memakan daun. Jadi biarkan saja ulat ulat ini tetap hidup, sementara kalian memetik buah kacang hijaunya. Beres kan….?”. mbak titin menerangkan dengan panjang lebar.
“tapi mbak, kata bapak ulat-ulat itu harus dibunuh”. Aku belum bisa menerima penjelasan darinya.
“itu kalau tanaman kacang hijaunya belum dipanen. Jika sedang dipanen, dibunuh atau tidak sama saja”.
“o……. begitu ya”. Aku dan ayyas mengangguk-anggukkan kepala berlagak memahami apa yang dikatakan mbak titin.
Kini tak ada lagi ulat yang perlu ditakutkan, kedua tanganku kembali bekerja memetik sedikit demi sedikit buah kacang hijau. Kuliahat ibu dan bapak begitu bersemangat menyambut panen di musim kemarau ini.
Matahari menjadi saksi betapa keras perjuangan hidup kami.
“ibu aku lapar, ayo kita pulang”. Ayyas merengek pada ibu minta pulang.
“tin, cepat ajak adik-adikmu pulang. Hari sudah semakin siang”. Ibu menyuruh mbak titin, ayyas dan aku untuk segera pulang.
“ia bu”. Jawab mbak titin.
******
Matahari terlihat semakin meninggi, suara adzan dzhuhur terdengar bersamaan dengan langkah kami menuju rumah.
“mbak, kapan ibu dan bapak pulang?”. Aku bertanya pada mbak titin saat kami sampai di depan rumah.
“mungkin sebentar lagi juga pulang. Hanya tinggal memasukkan buah kacang hijau yang sudah di perik kedalam karung”. Kata mbak titin sambil membuka pintu rumah.
“mbak aku lapar”. Ayyas meminta makan.
“sabar ya dek, kita minum dulu ya biar tubuh kita kembali segar.”
“ ya mbak”.
Kulihat ayyas minum dengan begitu banyak, setelah dia selesai tibalah giliranku untuk minum, seteguk demi seteguk segelas air segar itu segera masuk kedalam tenggorokanku, menghilangkan rasa haus yang sudah beberapa jam aku tahan.
“Alhamdulillah”. Ucapku setelah meminung air segar itu.
Beberapa menit setelah aku minum, bmak titin sudah menyiapkan hidangan makan siang. Lauknya tak terlalu istimewa, hanya ikan asin dan sambal trasi. Kami sekeluarga sudah terbiasa makan seperti itu dan akupun tak pernah protes karena kami berdua sudah memahami kondisi ekonomi orang tua kami. Bisa makan jasa sudah membuatku bersyukur. Aku tahu ada banyak manusia di dunia ini yang tidak bisa makan seperti kami, mereka harus mengemis dan menjadi gelandangan untuk mendapatkan sesuap nasi.
“kak, liburan akan berakhir satu minggu lagi. Buku tulisku sudah habis”. Ayyas mengeluh padaku.
“iya, yas. Kamu sabar dulu ya? Bapak dan ibu belum punya uang”. Jawabku sepontan pada ayyas. Aku bisa merasakan rasa kecewa dari raut wajahnya setelah ia mendengar jawabanku.
“ia kak”. Wajah ayyas tetap menunduk. Matanya menatap sepiring nasi yang belum juga dimakan olehnya.
“kamu jangan sedih, buku tulis kakak juga sudah habis, nanti kita usaha sama-sama ya? Tapi inggat, ini adalah rahasia kita berdua”. Aku berbisik pada adik kecilku itu.
“maksud kakak?”.
“suuutsssst, jangan keras-keras, nanti mbak titin dengar”. Aku memberi isyarat agar ayyas tidak berisik.
“lalu apa rencana kita untuk dapat uang”.
“kita bicarakan saja nanti setelah sholat dzuhur”.
“setuju”.
“hei, kalian kenapa bisik-bisik. Cepat makan”. Mbak titin melihatku dan ayyas, mungkin ia memperhatikan apa yang tadi aku lakuakn dengan ayyas.
Setelah makan aku dan ayyas segera berlari berkejar-kejaran menuju masjid pedesaan, jaraknya hanya seratus meter dari rumah. Seluruh tembuk dan lantainya berwarna putih, ukurannya tak terlalu besar, mungkin hanya duapulu meter persegi. Cat hijau bertuliskan “masjid at-taqwa” melekat di dua pintu kayu masjid itu.
“hey, darimana saja kalian. Aku sudah menunggu satu jam disini”. Suara asef terdengar nyaring ketika aku dan ayyas baru saja sampai di depan masjid. Asef adalah teman sekelasku, tubuh kurus dan kulitnya yang berwarna gelap membuatnya dijuluki grandong di sekolah.
“maaf sef, aku baru saja pulang dari sawah”.
“ia aku tahu, sekarang cepat ajak adikmu sholat dulu”.
“oke pak grandong, jangan suka marah agar tidak tambah item”. Ayyas mulai ikut bicara.
“awas kau, kalau kena akan kujadikan sate panggang…!”. Asef segera mengangkat tubuhnya dan berlari mengejar ayyas.
“coba saja kalau bisa, weeeeekkkk….. ckakakahahaha…..”. Ayyas tertawa mengejek, kakinya terus berlari menghindar dari kejaran asef.
“sudah-sudah jang ramai di masjid”. Pak yanto mulai menegur mereka berdua, dia adalah takmir masjid at-taqwa, dan umurnya sudah empat puluh Sembilan tahun.
“kasiannnn deh luuuh…… makanya jangan suka makan anak kecil, nanti nggak bisa putih lo…”. Gurauan ayyas semakin menjadi-jadi. Ketika melihat asef berhenti mengejarnya.
“sudah yas jangan nakal, warna kulitmu kan juga hitam”. Aku mulai menasehati ayyas.
“tapikan tidak sehitam grandong itu”.
“sudahlah dia itu lebih tua darimu, kau jangan mengejeknya. Nanti kalau sudah kena pukul baru tau rasa”.
“ka nada kakak, kakak pasti membelaku kan?”.
“kakak tidak akan membelamu jika kau berbuat salah, ayo cepat kita sholat”.
*****
Siang ini, suasana terasa begitu panas, membuat tenggorokanku selalu merengek meminta segelas air segar. Walaupun umurku masih sepuluh tahun, tapi mengerjakan sholat sudah menjadi kebiasaanku setiap hari bersama ayyas, bapakku selalu mengatakan, bahwa sholat adalah tiang agama, dan bangunan akan roboh jika tidak ada tiang yang menyangganya. Aku bersyukur, walaupun umurku masih kecil, tapi nasehat bapak selalu mengalir di dalam hatiku.
“fan, mana adikmu? Biar kurebus dia hidup-hidup”.
“sudahlah sef, dia masih kecil, jangan kau urus”.
“tapi mulut adikmu itu selalu membuatku jengkel”.
“asef yang ganteng, aku minta maaf ya?”. Tiba-tiba terdengar suara ayyas. Tapi aku tidak melihat tubuhnya, mungkin dia bersembunyai.
“kau dengar itu kan? Adikmu mengatakan aku ganteng. Itu sama saja ia membuat seluruh tubuhku terbakar”. Wajah asef memerah, ia tak tahan dengan tingkah adikku yang selalu mengejeknya.
“biarkan saja sef, nanti dia juga akan berhenti, anggap saja dia tak ada”.
“baiklah, aku juga malas mengejarnya”.
Akhirnya aku bisa bernafas lega, hamper tiap hari asef selalu bertengkar dengan adikku, mungkin tingkah jahil adikkulah yang membuat asef selalu dirugikan. Tapi sebenarnya asef juga memahami sifat adikku yang suka bercanda, sehingga mereka tak pernah berkelahi.
“kak, rencana apa yang ingin kakak bicarakan dengan aku tadi”. Tiba-tiba ayyas datang menghampiriku, mungkin dia sudah bisa memastikan kalau asef tak akan mengejarnya lagi.
“begini yas, sef, bagaimana jika kita mencari rongsokan untuk mengisi liburan yang kurang satu minggu ini, nanti kita jual dan uangnya dibagi rata?”. Aku mulai mengutarakan rencanaku.
“aku setuju kak”. Ayyas langsung member tanggapan.
“kalau kau bagaimana?”.
“gimana ya?, ya sudah aku juga setuju”. Akhirnya asef ikut sepakat
*****
Pagi disepertiga malam menyapa dengan begitu ramah, kokok ayam jantan terdengar begitu memeriahkan keheningan ketika adzan belum dikumandangkan. Akan ada banyak binatang yang akan memulai aktivitasnya. Semut-semut akan bertasbih mengawali gotong-royong bersama teman-temannya. Burubg-burubg akan bertakbir membangunkan kelompoknya dengan bahasa yang tak akan pernah dimengerti manusia, beberapa manusia pilihan akan bersujud menanti adzan subuh yang akan menentramkan setiap jiwa.
“ya allah. Kenapa ibu menangis?”. Hatiku berbisik ketika tangisan ibu terdengar hingga membangunkannu, perlahan aku mulai mengangkat tubuhku dari tikar lusuh, kulihat ayyas masih tertidur dengan nyenyak, aku tak ingin membuatnya terbangun, hinggaaku mulai melangkah dengan hati-hati dikegelapan malam.
“ibu, ibu kenapa?”. Kuliahat ibuku memakai mukena berwarna putih, suara isak tangis terdengar tak begitu jelas. Mungkin ada banyak penderitaan yang dirasakan oleh ibuku.
“ifan, kenapa kamu bangun nak? Belum waktunya subuh”. Suara ibu terdengar serak.
“aku ingin tahu bu, kenapa ibu menangis?”.
“ibu tidak menangis nak. Ibu hanya berdo’a”.
“apakah berdo’a harus dengan menangis bu?”.
“tidak nak, ibu hanya merasa tenang ketika berdoa sambil menangis”.
“tapi aku tidak ingin melihat ibu menangis bu, maafkan aku bu, selama ini aku tidak bisa membantu ibu”. Aku mendekat kea rah ibu, air mata mengalir begitu saja saat ibu mulai memeluk erat tubuhku.
“sekarang ifan tidur lagi ya. Nanti ibu bangunkan”.
“ia bu”. Aku mulai beranjak kembali menuju tikar lusuh dimana aku biasa berbaring, sedikit demi sedikit mataku mulai terpejam menikmati tidur yang begitu menyenangkan.
*****
Matahari sudah berwarna jingga, sinarnya menyebar member kehidupan disetiap penjuru dunia. Setelah sarapan aku dan ayyas segera berangkat menuju rumah asef untuk menjalankan misi mengumpulkan barang rongsoka, karena rumah asef yang akan kami jadikan markas tempat pengumpulan rongsokan yang nanti kami akan dapatkan.
“gimana bos, rajin sekali pagi-pagi udah kesini?”. Asef langsung menyapa ketika melihat aku dan ayyas berjalan mendekati rumahnya.

“ayo sef kita berangkat, mumpung hari masih pagi”.