Aku Ayyas, dan Mbak Titin
Jakarta, awal bulan
juli. Musim kemarau telah membuat area persawahan mongering. Tak ada padi yang
tertanam, parit-parit pun mongering tanpa genangan air sedikitpun. Tanaman
kacang hijau telah tumbuh dan siap untuk dipanen, buahnya sudah mulai
menghitam, sementara ulat-ulat berwarna hijau bertebaran menikmati daun-daun
kacang hijau yang masih segar dan belum mongering.
“kak lihat ada
banyak ulat disini”. Ayyas, adi kecilku itu memanggil, umurnya sudah tujuh
tahun, rambutnya lurus terurai kedepan.
“dimana…?”. Tanganku
mulai berhenti memetik buah kacang hijau, sementara kakiku melangkah mendekati
ayyas.
“sini kak, cepat
lihat. Hiiii aku tidak berani memegangnya”. Ayyas melompat girang sambil tangan
kanannya menunjuk kea rah beberapa ulat yang memakan daun kacang.
“iya yas, ulatnya
banyak sekali, ayo kita panggil mbk titin”. Ucapku pada ayyas.
“Mbak titin cepat
kesini, ada banyak ulat”. Ayyas berteriak memanggil mbak titin.
Mbak titin adalah
kakak perempuanku, umurnya baru enam belas tahun, setelah lulus SMP tahun
kemarin ia putus sekolah, semua itu terjadi karena kedua orang tuaku tak lagi
mampu menyekolahkannya. maklum, kedua orang tuaku hanya bekerja sebagai petani.
Sementara aku dan ayyas masih membutuhkan biaya sekolah. Bisa dikatakan
keluarga kami adalah keluarga miskin.
“kalau kalian lihat
ulat nggak usah takut, nih lihat mereka hanya memakan daun. Jadi biarkan saja
ulat ulat ini tetap hidup, sementara kalian memetik buah kacang hijaunya. Beres
kan….?”. mbak titin menerangkan dengan panjang lebar.
“tapi mbak, kata
bapak ulat-ulat itu harus dibunuh”. Aku belum bisa menerima penjelasan darinya.
“itu kalau tanaman
kacang hijaunya belum dipanen. Jika sedang dipanen, dibunuh atau tidak sama
saja”.
“o……. begitu ya”.
Aku dan ayyas mengangguk-anggukkan kepala berlagak memahami apa yang dikatakan
mbak titin.
Kini tak ada lagi
ulat yang perlu ditakutkan, kedua tanganku kembali bekerja memetik sedikit demi
sedikit buah kacang hijau. Kuliahat ibu dan bapak begitu bersemangat menyambut
panen di musim kemarau ini.
Matahari menjadi
saksi betapa keras perjuangan hidup kami.
“ibu aku lapar, ayo
kita pulang”. Ayyas merengek pada ibu minta pulang.
“tin, cepat ajak
adik-adikmu pulang. Hari sudah semakin siang”. Ibu menyuruh mbak titin, ayyas
dan aku untuk segera pulang.
“ia bu”. Jawab mbak
titin.
******
Matahari terlihat
semakin meninggi, suara adzan dzhuhur terdengar bersamaan dengan langkah kami
menuju rumah.
“mbak, kapan ibu dan
bapak pulang?”. Aku bertanya pada mbak titin saat kami sampai di depan rumah.
“mungkin sebentar
lagi juga pulang. Hanya tinggal memasukkan buah kacang hijau yang sudah di
perik kedalam karung”. Kata mbak titin sambil membuka pintu rumah.
“mbak aku lapar”.
Ayyas meminta makan.
“sabar ya dek, kita
minum dulu ya biar tubuh kita kembali segar.”
“ ya mbak”.
Kulihat ayyas minum
dengan begitu banyak, setelah dia selesai tibalah giliranku untuk minum,
seteguk demi seteguk segelas air segar itu segera masuk kedalam tenggorokanku,
menghilangkan rasa haus yang sudah beberapa jam aku tahan.
“Alhamdulillah”.
Ucapku setelah meminung air segar itu.
Beberapa menit
setelah aku minum, bmak titin sudah menyiapkan hidangan makan siang. Lauknya
tak terlalu istimewa, hanya ikan asin dan sambal trasi. Kami sekeluarga sudah
terbiasa makan seperti itu dan akupun tak pernah protes karena kami berdua
sudah memahami kondisi ekonomi orang tua kami. Bisa makan jasa sudah membuatku
bersyukur. Aku tahu ada banyak manusia di dunia ini yang tidak bisa makan
seperti kami, mereka harus mengemis dan menjadi gelandangan untuk mendapatkan
sesuap nasi.
“kak, liburan akan
berakhir satu minggu lagi. Buku tulisku sudah habis”. Ayyas mengeluh padaku.
“iya, yas. Kamu
sabar dulu ya? Bapak dan ibu belum punya uang”. Jawabku sepontan pada ayyas.
Aku bisa merasakan rasa kecewa dari raut wajahnya setelah ia mendengar
jawabanku.
“ia kak”. Wajah
ayyas tetap menunduk. Matanya menatap sepiring nasi yang belum juga dimakan
olehnya.
“kamu jangan sedih, buku
tulis kakak juga sudah habis, nanti kita usaha sama-sama ya? Tapi inggat, ini
adalah rahasia kita berdua”. Aku berbisik pada adik kecilku itu.
“maksud kakak?”.
“suuutsssst, jangan
keras-keras, nanti mbak titin dengar”. Aku memberi isyarat agar ayyas tidak
berisik.
“lalu apa rencana
kita untuk dapat uang”.
“kita bicarakan saja
nanti setelah sholat dzuhur”.
“setuju”.
“hei, kalian kenapa
bisik-bisik. Cepat makan”. Mbak titin melihatku dan ayyas, mungkin ia
memperhatikan apa yang tadi aku lakuakn dengan ayyas.
Setelah makan aku
dan ayyas segera berlari berkejar-kejaran menuju masjid pedesaan, jaraknya
hanya seratus meter dari rumah. Seluruh tembuk dan lantainya berwarna putih,
ukurannya tak terlalu besar, mungkin hanya duapulu meter persegi. Cat hijau
bertuliskan “masjid at-taqwa” melekat di dua pintu kayu masjid itu.
“hey, darimana saja
kalian. Aku sudah menunggu satu jam disini”. Suara asef terdengar nyaring
ketika aku dan ayyas baru saja sampai di depan masjid. Asef adalah teman
sekelasku, tubuh kurus dan kulitnya yang berwarna gelap membuatnya dijuluki
grandong di sekolah.
“maaf sef, aku baru
saja pulang dari sawah”.
“ia aku tahu,
sekarang cepat ajak adikmu sholat dulu”.
“oke pak grandong,
jangan suka marah agar tidak tambah item”. Ayyas mulai ikut bicara.
“awas kau, kalau
kena akan kujadikan sate panggang…!”. Asef segera mengangkat tubuhnya dan
berlari mengejar ayyas.
“coba saja kalau
bisa, weeeeekkkk….. ckakakahahaha…..”. Ayyas tertawa mengejek, kakinya terus
berlari menghindar dari kejaran asef.
“sudah-sudah jang
ramai di masjid”. Pak yanto mulai menegur mereka berdua, dia adalah takmir
masjid at-taqwa, dan umurnya sudah empat puluh Sembilan tahun.
“kasiannnn deh
luuuh…… makanya jangan suka makan anak kecil, nanti nggak bisa putih lo…”.
Gurauan ayyas semakin menjadi-jadi. Ketika melihat asef berhenti mengejarnya.
“sudah yas jangan
nakal, warna kulitmu kan juga hitam”. Aku mulai menasehati ayyas.
“tapikan tidak
sehitam grandong itu”.
“sudahlah dia itu
lebih tua darimu, kau jangan mengejeknya. Nanti kalau sudah kena pukul baru tau
rasa”.
“ka nada kakak,
kakak pasti membelaku kan?”.
“kakak tidak akan
membelamu jika kau berbuat salah, ayo cepat kita sholat”.
*****
Siang ini, suasana
terasa begitu panas, membuat tenggorokanku selalu merengek meminta segelas air
segar. Walaupun umurku masih sepuluh tahun, tapi mengerjakan sholat sudah
menjadi kebiasaanku setiap hari bersama ayyas, bapakku selalu mengatakan, bahwa
sholat adalah tiang agama, dan bangunan akan roboh jika tidak ada tiang yang
menyangganya. Aku bersyukur, walaupun umurku masih kecil, tapi nasehat bapak
selalu mengalir di dalam hatiku.
“fan, mana adikmu?
Biar kurebus dia hidup-hidup”.
“sudahlah sef, dia
masih kecil, jangan kau urus”.
“tapi mulut adikmu
itu selalu membuatku jengkel”.
“asef yang ganteng,
aku minta maaf ya?”. Tiba-tiba terdengar suara ayyas. Tapi aku tidak melihat
tubuhnya, mungkin dia bersembunyai.
“kau dengar itu kan?
Adikmu mengatakan aku ganteng. Itu sama saja ia membuat seluruh tubuhku
terbakar”. Wajah asef memerah, ia tak tahan dengan tingkah adikku yang selalu
mengejeknya.
“biarkan saja sef,
nanti dia juga akan berhenti, anggap saja dia tak ada”.
“baiklah, aku juga
malas mengejarnya”.
Akhirnya aku bisa
bernafas lega, hamper tiap hari asef selalu bertengkar dengan adikku, mungkin
tingkah jahil adikkulah yang membuat asef selalu dirugikan. Tapi sebenarnya
asef juga memahami sifat adikku yang suka bercanda, sehingga mereka tak pernah
berkelahi.
“kak, rencana apa
yang ingin kakak bicarakan dengan aku tadi”. Tiba-tiba ayyas datang
menghampiriku, mungkin dia sudah bisa memastikan kalau asef tak akan
mengejarnya lagi.
“begini yas, sef,
bagaimana jika kita mencari rongsokan untuk mengisi liburan yang kurang satu
minggu ini, nanti kita jual dan uangnya dibagi rata?”. Aku mulai mengutarakan
rencanaku.
“aku setuju kak”.
Ayyas langsung member tanggapan.
“kalau kau
bagaimana?”.
“gimana ya?, ya
sudah aku juga setuju”. Akhirnya asef ikut sepakat
*****
Pagi disepertiga
malam menyapa dengan begitu ramah, kokok ayam jantan terdengar begitu
memeriahkan keheningan ketika adzan belum dikumandangkan. Akan ada banyak
binatang yang akan memulai aktivitasnya. Semut-semut akan bertasbih mengawali
gotong-royong bersama teman-temannya. Burubg-burubg akan bertakbir membangunkan
kelompoknya dengan bahasa yang tak akan pernah dimengerti manusia, beberapa
manusia pilihan akan bersujud menanti adzan subuh yang akan menentramkan setiap
jiwa.
“ya allah. Kenapa
ibu menangis?”. Hatiku berbisik ketika tangisan ibu terdengar hingga
membangunkannu, perlahan aku mulai mengangkat tubuhku dari tikar lusuh, kulihat
ayyas masih tertidur dengan nyenyak, aku tak ingin membuatnya terbangun,
hinggaaku mulai melangkah dengan hati-hati dikegelapan malam.
“ibu, ibu kenapa?”.
Kuliahat ibuku memakai mukena berwarna putih, suara isak tangis terdengar tak
begitu jelas. Mungkin ada banyak penderitaan yang dirasakan oleh ibuku.
“ifan, kenapa kamu
bangun nak? Belum waktunya subuh”. Suara ibu terdengar serak.
“aku ingin tahu bu,
kenapa ibu menangis?”.
“ibu tidak menangis
nak. Ibu hanya berdo’a”.
“apakah berdo’a
harus dengan menangis bu?”.
“tidak nak, ibu
hanya merasa tenang ketika berdoa sambil menangis”.
“tapi aku tidak
ingin melihat ibu menangis bu, maafkan aku bu, selama ini aku tidak bisa
membantu ibu”. Aku mendekat kea rah ibu, air mata mengalir begitu saja saat ibu
mulai memeluk erat tubuhku.
“sekarang ifan tidur
lagi ya. Nanti ibu bangunkan”.
“ia bu”. Aku mulai
beranjak kembali menuju tikar lusuh dimana aku biasa berbaring, sedikit demi
sedikit mataku mulai terpejam menikmati tidur yang begitu menyenangkan.
*****
Matahari sudah
berwarna jingga, sinarnya menyebar member kehidupan disetiap penjuru dunia.
Setelah sarapan aku dan ayyas segera berangkat menuju rumah asef untuk
menjalankan misi mengumpulkan barang rongsoka, karena rumah asef yang akan kami
jadikan markas tempat pengumpulan rongsokan yang nanti kami akan dapatkan.
“gimana bos, rajin
sekali pagi-pagi udah kesini?”. Asef langsung menyapa ketika melihat aku dan
ayyas berjalan mendekati rumahnya.
“ayo sef kita
berangkat, mumpung hari masih pagi”.
a.jpg)