Senandung masa lalu
Matahari terbit membangunkan hari pertama
di tahun 2012, suasana menjadi lebih cerah, salju-salju yang membeku telah
mencair menjadi air dingin, mengalir sedikit demi sedikitmenjauh dari permukaan
tanah. Menghapus warna putih dipenjuru daratan bumi Australia.
Kini aku duduk termangu di kamar, kulihat
satu koper besar telah tergeletak diatas ranjang tempat tidurku. Perlahan
jari-jariku mulai berusaha untuk mengangkatnya dan memindahkannya keruang tamu.
Aku tak tahu apa saja yang ada di dalam koper itu. Ibu merry yang menyiapkan
semua itu saat aku tidur.
“fan, ibu sudah memesan tiket pesawat untukmu”. Bu merry datang
menghampiriku, tangannya menjulur menyodorkan selembar tiket pesawat kearah ku.
“terimakasih bu, ibu tak harus melakukan ini semua”. Kuterima lembaran
itu.
“tak apa fan, ibu ingin melakukan apapun untukmu sebelum kau pergi
meninggalkan ibu”.
“jangan berkata seperti itu bu, aku tak akan pernah meninggalkan
ibu”.
“ia fan, tapi kau punya ibu yang lebih kau rindukan dihatimu, kau
harus bersamanya”.
“tidak bu, aku janji akan kembali ke rumah ini, aku hanya pergi
sebentar, ibu tak perlu menghawatirkanku”.
“Terimakasih fan, ibu harap kau benar-benar akan kembali lagi
kerumah ini”.
“iya bu, aku tak akan pernah lagi berbohong pada ibu”.
Sinar matahari semakin memerah, kulihat
mata bu merry berkaca-kaca. Aku sadar, kepergianku ke Indonesia membuat dirinya
sedih, ada banyak kenangan yang kuukir bersamanya.
“maafkan aku bu, aku harus segera pergi”. Kupeluk erat tubuh bu
merry, semoga saja aku bisa menepati janjiku untuk kembali bersamanya.
“jangan pernah lupakan ibu”. Bu merry menangis.
“iya bu, pasti”. Mulutku tiba-tiba mengucapkan kalimat itu, ada air
mata yang menetes dari mataku. Segera kulepas pelukanku. Ku hirup nafas panjang
untuk melancarkan nafasku. Aku segera berlalu, membawa tubuhku menjauh dari
hadapan bu merry, segera kuhapus air mata di pipiku, seulas senyum tersungging
dari bibirku, selamat tinggal bu merry, aku tak akan pernah melupakanmu.
*****
Jam menunjukkan pukul sepuluh tepat,
suasana ramai hilir mudik di bandara santa Paulo membuat perasaanku agak
tenang. Di tempat inilah orang-orang Australia ataupun imigran dari Indonesia
berkumpul dan terbang ke Jakarta dengan pesawat yang bernama Australia
waterlip. Kini aku sudah duduk di dalam pesawat, disebelah kananku, tampak
gadis cantik berwajah Indonesia sedang duduk manis menghadap kedepan, kira-kira
usianya sama denganku. Ia memakai pakaian longgar berwarna hijau, sementara
kepalanya di balut jilbab panjang berwarna biru tua, ia duduk dengan begitu
tenang. Mungkin gadis itu tak tahu juka dari tadi aku mengamatinya.
“diumumkan kepada seluruh penumpang harap memakai sabuk pengaman,
dikarenakan pesawat akan segera lepas landas”. Suara pengumuman itu terdengar
begitu keras dari speaker-speaker yang terpasang disetiap sudut ruangan. Dengan
cepat aku segera memakai sabuk pengamanku.
Tak terasa pesawat yang kutumpangi sudah
terbang tinggi di langit, tapi tubuhku tak merasakan jika pesawat yang begitu
berat dan besar ini telah terbang tinggi dengan begitu seimbang.
“bismillah………”. Ucapku dalam hati. Aku berharap perjalananku ke
Indonesia untuk bertemu ibu kandungku tak akan sia-sia. Dan semoga di bisa
memaafkan semua kesalahanku.
“kacang, mas…………?”.gadis cantik berjilbab biru itu menyodorkan
sebungkus kacang goreng kearahku, matanya menatapku, ada senyum yang dipaksakan
untukku.
“terimakasih”. Ucapku sambil menerima bungkusan itu dengan tangan
kananku. Aku tak mengira ternyata gadis itu juga memperhatikan gerak-gerikku,
padahal ingin sekali aku mengajaknya ngobrol sambil menghabiskan waktu kosong
selama perjalanan, tapi rasa malu tak mampu membuat kalimat pertanyaan keluar
dari mulutku untuk gadis itu. Aku hanya diam sambil menikmati kacang goreng
yang ada ditanganku.
“maaf mas, kalau boleh tahu nama anda siapa?”. Gadis itu kembali
bertanya kepadaku setelah kualihkan pandanganku kearahnya.
“namaku ifan, anda sendiri siapa?”. Tanyaku pelan.
“aku anisa, mas ifan mau ke Jakarta ya?”.
“iya, sudah lama aku tak ke Indonesia, oh iya, kalau panggil ifan
saja kata “mas” nya tidak usah di pakai”.
“ia mas, eh maaf, maksudku ifan”.
“ngak apa-apa, anisa juga mau ke Jakarta kan?”.
“ia mas, ya ampun lupa lagi, iya fan aku juga mau ke jakrta. Sudah
satu tahun aku tidak pulang ke Indonesia”.
“memangnya ada apa? Apa kamu bekerja di Australia……?”
“tidak, di Australia aku kuliah, dan aku kejakarta karena ibuku
meninggal. Aku merasa bersalah karena dulu ibuku tak mengizinkanku ke australia
untuk kuliyah, hingga aku kabur dari rumah sampai sekarang”. Anisa menundukkan
pandangan kebawah, mungkin ia merasa sedih atas kematian ibunya.
“maafkan aku, aku tak bermaksud membuatku merasa sedih”. Kataku
pada anisa.
“taka pa-apa. Aku sudah terbiasa menangis seperti ini”. Anisa
kembali mengngkat kepalanya, perlahan tangan kanannya mengusap air mata yang
berlinang di pipinya.
“semoga saja ibumu sudah memaafkanmu”.
“terimakasih”. Anisa menanggapi dengan lirih.
Sejenak aku muali termenung, cerita
singkat dari anisa membuatku membayangkan kejadian delapan tahun yang lalu
kualami, ketika aku dan ayyas menjadi bahan ejekan di sekolah, ketika mbak
titin dan ibuku menangis, ketika samudra rasa lapar menerjang perutku selama
beberapa hari, dan ketika aku tak sanggup menjalankan amanah ibu untuk menjaga ayyas.
Tiba-tiba pikiranku melayang memutar semua kenangan bersama keluargaku.
