Hari
minggu, tak ada lagi sekolah. Libur seharian penuh terasa amat
menyanangkan bagi setiap anak sekolahan. Sesekali terdengar lengkingan
suara kokok ayam jago. Begitu nyaring dan sempurna walaupun subuh telah
usai. Amir menguap pelan, ternyata sholat subuh tak menghilangkan
kantuknya. Adik sekaligus saudara kembarku itu mulai masuk kedalam
kamar. Naik ke atas ranjang, selimut bewarna biru berhias bunga tulip
segera menutup seluruh tubuhnya. Entahlah apa yang sedang dirasakannya
sekarang.
Sebenarnya
aku ingin membangunkannya. Mengajaknya berlari keluar rumah, menikmati
udara pagi, terik matahari, dan semilir angin yang bertiup lembut. Aku
tak pernah lupa kebiasaan setiap hari minggu bersama Amir, ketika aku
berkejar – kejaran di sawah, saling melempar kerikil di sungaim, beradu
senyum, dan berlomba – lomba menjari perhatian ibu kami. Suasana yang
amat menyenangkan, tak kan membuat aku dan Amir lupa akan pengalaman
itu. Wajahku sama persis dengan Amir, hanya tanda lahir bewarna coklat
di punggung tangnku yang membedakanku dengan Amir. Hari ini tampak ada
perbedaan dalam diri Amir. Ia tak lagi bersamaku, ia mengurung diri di
kamar. Membiarkan seluruh tubuhnya tertutup selimutbewarna biru itu. Aku
tak mau mengganggunya. Kubiarkan dia tidur, mungkin ia merasa
kelelahan.
“ Bu aku mau jalan – jalan sebebtar di luar rumah….?” Ucapku pada ibu.
“ Kau tidak mengajak Amir……..?”
“ Dia tidur Bu, mungkin di kelelahan dan ingin istirahat.”
“ Ya sudah. Jangan terlalu siang kalau pulang.”
Aku
mengangguk, segera aku berlari keluar dari rumah, membiarkan tubuhku
menentang angin dingin di luar sana. Kulihat matahari mulai terbit merah
merona, kakiku terus berlari menuju lapangan, rumput – rumput hijau di
kakiku terasa basah oleh embun, beberapa temanku sudah memulai
permainan, mereka saling berkejaran berebut bola, saling mengoper danb
menendang. Aku segera bergabung, membiarkan tubuhku berkeringat dalam
permainan sepak bola. Hingga matahari meninggi, rumput – rumput basah
mulai mengering, membuatku lelah dan berhenti.
Panas
matahari mulai terasa, kubasuh keringat di pelipisku sambil membuka
pintu. Tampak ibu duduk di kursi ruang tamu, setelah tahu kedatanganku,
tangan ibu melambai – lambai memanggilku.
“ Apa bu………?” aku mulai bertanya pada ibu.
“ Cepat bangunkana dikmu, ajak dia sarapan sarapan.” Ibu tersenyum sambil mengarahkan lirikan matanya ke arah kamarku.
Aku segera melangkah menuju kamar, membuka pintu dan duduk di ranjang di mana Amir masih tertidur.
“ Amir….” Ucapku pelan sambil melihat adikku masih tertutup selimut menghadap tembok.
“
Amir… kau sudah tidur terlalu lama, ayo kita sarapan.” Aku mengeraskan
nada suaraku. Tak ada sepatahpun jawaban darinya. Hanya erangan kecil
yang terdengar dari telingaku.
“
Amir, ayo bangun. Dasar pemalas, kau sudah membiarkanku bermain
sendirian pagi ini.” Aku sedikit merasa jengkel karena tak ada respon
sedikitpun dari Amir.
“ Kak Hasan………..” terdengar suara lirih dari tubuh yang terbungkus selimut biru itu.
“ Ia ayo cepat bangun, apa kau tidak lapar…?”
“ Aku tidak lapar kak..!” suara Amir tetap terdengar lirih, seakan ia menahan rasa sakit di dalam dirinya.
“
Hei, kau kenapa….?” Aku membuka selimut yang membungkus tubuh saudara
kembarku itu. Kulihat bajunya basah oleh keringat, matanya terpejam,
sesekali bibirnya bergetar. Aku tak tahu apa yangterjadi padanya.
Setelah kusentuh keningnya, aku merasakan suhu tubunya mendidih, sontak
aku memegang tangan Amir seraya berteriak dengan begitu keras. “ Ibu……
cepat kesini Bu………….!”.
Sejak
peristiwa itu aku tak pernah melihat Amir tersenyum, seminggu sudah aku
berangkat sekolah sendirian. Tak ada lagi canda ataupun tawa Amir di
sisiku. Kebahagiaan itu seakan telah berakhir. Amir menderita penyakit
beku syaraf. Syaraf – syaraf kakinya telah mati sejak tubuhnya terserang
demam satu minggu yang lalu. Dokter berkata pada ibu, bahwa penyakit
Amir tak bisa disembuhkan. Kakinya akn tetap lumpuh, dan tak akan pernah
bergerak sedikitpun. Aku menangis ketika mendengar berita itu.
Hari ini setelah pulang sekolah aku melihat Amir duduk di kursi rodanya. Ia menatapku, tak ada senyum yang diberikannya padaku.
“
Kak Hasan. Bisakah kaka temani aku jalan – jalan besok pagi.” Ucapan
Amir membuatku merasa senang. Sudah beberapa hari aku tak bersamanya.
“
Siiiip Amir. Besok pagi adalah hari minggu, kita pasti akan bersenang –
senang.” Aku berharap ucapanku tadi membuatnya tersenyum, membuat bibir
merahnya tersungging tanda bahagia. Tapi semua kata – kataku tak ada
artinya, ia tetap diam membisu tanpa memberikan senyum padaku.
“
Apakah aku boleh meminta sesuatu padamu…?” Amir meletakkan kedua
tangannya ke atas pundakku saat aku duduk di depan kursi rodanya.
“ Ia Amir. Aku akn melakukan apapun yang kau minta.”
“ Kakak akan tetap mau walaupun ibu melarang.”
“ Amir aku akan melakukannya untukmu.”
“ Aku ingin melihat karnafal kembang api bersama kakak minggu depan,”
“
Ia Amir. Kakak pasti melalkukannya untukmu. Kaka janji.” Bibirku
bergetar ketika mengatakan itu pada Amir. Saudara kembarku itu telah
kembali bahagia, aku mendekap tubuhnya, tak kurasa air mataku meleleh
berlinangan membasahi pipi.
Hari
ini setelah sholat subuh, aku mendorong kursi roda Amir keluar rumah,
merapikan jaket woll hijau yang di pakainya. Aku akan membuatnya
bersenang – senang di minggu pagi ini. Mengajaknya berkeliling disekitar
danau, melihat indahnya taman bunga matahari, serta beberapa burung
gereja yang bernyanyi dan menari disela – sela ranting pohin jati. Amir
tertawa ketika melihatku menirukan gaya anjing menggonggong di depannya,
begitu pula saat aku menirukan gaya katak melompat, mata Amir berbinar
dan bertepuk tangan. Aku selalu berharap bahwa Allah akan tetap menjaga
senyum di bibir Amir.
Ketika
hari minggu telah berlalu, ibu akn selalu menemani Amir hingga aku
pulang dari sekolah, begitu pula saat aku di sekolah, suasana menjadi
begitu berbeda. Tak ada lagi yang mengatakan si kembar dalam satu
bangku, tak ada lagi canda guru saat Amir berhenti sekolah. Tapi aku
tetap bahagia, melihat Amir tersenyum. Walaupun ia tak lagi duduk di
sebelahku di bangku sekolah. Setelah pulang dari sekolah ada banyak hal
yang akan aku lakukan bersama Amir. Nulai dari nonton televisi, bermain
kartu, melihat matahari tenggelam di teras rumah, membaca buku cerita,
dan mengambar sesuatu bersamanya. Semuanya akan terasa menyenangkan
ketika kulakukan bersama Amir, saudara kembarku yang sangat ku sayangi.
Semoga Allah senantiasa melindunginya.
Tak
terasa waktu berputar begitu cepat. Besok malam, karnafal kembang api
akan terlihat meriah, akan ada beraneka warna kembang api yang
bertebaran di angkasa. Sinarnya yang terang tampak seperti bunga yang
bermekaran. Membuat semua orang tak berkedip saat melihatnya menghiasi
kegelapan malam, menyambut bintang – bintang yang berkelipan. Amir duduk
di kursi rodanya, ia mengeluh lelah dan ingin beristirahat. Ibu segera
menggendongnya menuju kamar, menutup tubuhnya dengan selimut, dan pergi
ke dapur untuk membuatkan segelas susu hangat untuknya.
“
Amir……… ibu bawakan segelas susu hangat kesukaanmu.” Suara ibu pelan
tapi terdengar begitu jelas, sementara aku hanya diam dan berdiri di
samping ibu.
“
Ibu…. Kak Hasan….. “ suara Amir terdengar lirih dan lemah. Aku dan ibu
merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Amir. Aku segera menarik selimut
dari tubuh Amir, aku sangat terkejut ketika melihat wajahnya begitu
pucat. Tubuhnya dipenuhi oleh keringat. Sementara suhu panas tubuhnya
sangat tinggi. Ibu segera berlari untuk menghubungi dokter. Kulihat mata
ibu berkaca kaca. Mungkin ia merasa sedih melihat kondisi Amir.
“ Amir kau tak apa – apa kan…?” aku menggenggam telapak tangan Amir.
“ Kak….?” suara Amir terdengar serak, seakan ia kesulitan mengatakan sesuatu padaku.
“
Amir kau tidak boleh sakit, kau harus sembuh, ibu sudah mengizinkanku
untuk melihat festifal kembang api bersamamu besok malam. Aku mohon
Amir, bertahanlah….!” aku tak bisa menahn tangisku ketika air mata Amir
berlinangan, aku tahu Amir pasti merasakan beban yang lebih menyakitkan.
“ Kak……..!” suara Amir tetap terdengar serak, ia tak mampu melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan padaku.
“
Permisi…” suara dokter bereragam putih datang mendekati Amir, sehingga
membuatku menjauh. Dokter itu segera memeriksa Amir, sedangkan ibu
menangis di sebelah kananku.
“
Maaf dok bagaimana keadaan anak saya…?” ibu mulai bersuara ketika
melihat dokter itu mengernyitkan keningnya saat memriksa Amir.
“
Saya mohon maaf bu… sebagaimana kata saya dulu, penyakit ank ibu sangat
sulit untuk disembuhkan, kemungkinan besar kondisinya akan terus
seperti ini. Saat ini keadaannya semakin memburuk, seluruh saraf yang
ada di tubuhnya telah mati, tak ada lagi anggota tubuhnya yang anggup
untuk digerakkan. Denyut nadinya pun semakin melemah, kita semua hanya
bisa pasrah pada Allah.” Dokter itu mulai berhenti berbicara.
“ A…akh…kak….ib..” suara Amir semakin serak dan melemah. Nada suaranya benar – benar parau.
“
Amir……………..!” aku berteriak keras, kulihat Amir tak lagi berusaha
membuka mulutnya untuk berbicara. Tersungging senyuman di bibir
merahnya. Pandangannya sayu tepat mengarah kepadaku. Bibirku bergetar
menahn tangis, air mataku mengalir begitu deras, aku merasa beton –
beton runtuh menimpa tubuhku, rasa ngilu menjalar keseluruh urat nadiku, aku tak sanggup lagi berdiri.
Segera ku peluk tubuh Amir, kubisikkan sesuatu di telinganya. “ Amir,
maafkan aku jika tak bias memenuhi janjiku, kau lahir kedunia ini
bersamaku, tapi kau masih terlalu muda untuk menerima kenyataan ini. Kau
harus ingat, mujahid tak kan pernah mati, walaupun dia tak lagi hidup
di dunia ini. Aku tidak akan pernah melupakanmu Amir, saudara kembarku
yang sangat ku sayangi.” Aku tak lagi sanggup mengangkat tubuhku, aku
tetap menangis dan memeluk erat tubuh Amir.
Ibu
hanya bias menangis, ia tak mampu mengucapkan kata – kata apapun.
Dokter itu mulai berusaha meraba dan mencari denyut nadi di tangan Amir,
tapi tetap sia – sia tak ada lagi nafas dari hidungnya. “ Innalillahi
wainna ilaihi rojiuun.” Ku ucapkan kalimat itu di hatiku, kini aku sadar
setiap manusia akn menemui sang pencipta. Tak ada satupun manusia yang
tau kapan dan dimana kematian datang memanggilnya. Tak bias dicegah dan
ditunda. Tak akan pernah menghiraukan yang namanya usia. Kini Amir,
saudara kembarku. Dia telah tiada, semoga ada kebahagiaan di hatinya,
membuat rasa lumpuh di tubuhnya tak pernah ada, membuat kedua kakinya
mampu berlari dengan riang di angkasa. Kuingin dia selalu tersenyum,
mengingat segala kenangan yang pernah kami lakukan bersama, dan tak kan
pernah aku melupakannya. Dia akan selalu tetap bersamaku, dia hidup
dalam senyumku.
