Kubuka
mataku perlahan, aku tak tahu apa yang telah terjadi. Mataku menatap ke
atas, langit masih membiru. Sinar matahari memancar, menyilaukan
mataku. Hanya ada segelintir awan yang berarak tertiup angin. Tapi aku
tak merasakan kesejukan. Udara masih terasa panas, menembus paru – paru
dalam tubuhku. Aku mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tetap
saja tubuhku tak bias bergerak. Kulirikkan bola mataku kekiri dan
kekanan, tak ada lagi Abi ataupun Umi di sampingku. Ada banyak sekali
darah, beberapa potongan anggota tubuh manusia berserakan didekat kaki
kananku. Puing – puing reruntuhan memenuhi daratan di mana aku berbarig.
Aku takut, aku ingin berlari, tapi usahaku tetap gagal. Tak sedikitpun
kakiku mampu bergerak.
“ Ya Allah mana Abi dan Umiku….?” Hatiku merintih menahan sedih.
Aku hanya tetap terdiam, menutup kedua mataku menghindari tusukan matahari yng menyilaukan.
“ Duaaar……………….. “ suara ledakan menggema ke angkasa, telingaku mampu merasakannya tapi aku tak tahu dimana ledakn itu berada.
Perlahan
aku mencoba membuka mata, tak ada lagi mathari, hany da sinar kemerahan
dari arah barat. Menandakn matahari hamper terbenam.
“
Duaaaar…………” sekali lagi ledakan dahsyat itu terdengar dari kedua
telingaku. Membuyarkan segala kenangan indah bersama Abi dan Umiku. Tak
kudengar lagi kumandang adzan dikala malam menjelang. Tak ada lagi
lantunan dzikir dan ayat suci Al – Qur’an dari bibir lembut Abiku, tak
kudengar pula do’a – do’a Umi di sampingku. Aku merasa kesepian, sedih,
resah, marah, benci, semua penyakit hati kurasakan di tepat ini.
Mengalhkan rasa sakit dn perih dalam setiap luka di tubuhku. Aku merasa
tak ada lagi ada orang yang mau melihat tubuhku.
Kini
aku mersa kedinginan, hanya ada bulan dan gemerlap bintang di
sekitarku, tak ada satupun serangga yang mau bernyanyi untukku. Deruan
angin menerjang seluruh tubuhku yang lemah. Sekali lagi rasa dingin itu
merayp menggerogoti tulangku.
“ Ya Allah lindungilah hambamu yang lemah ini.” Pintaku dalm hati.
Malam
ini mataku hanya bias menutup dan membuka, mengisyaratkan gerakan
sholat yang tak dapat kulakukan dengn sempurna, memohon kepada Allah
atas sebuah janji kemenangan di tanah palestinaku ini. Dingin terus
menerpa tubuhku yng lemah dan tak bertenaga ini. Dadaku seakan beku,
nafasku tak lagi berhembus dengan sempurna, hanya kegelapan yang
menggantung dalam mataku. Menutup setiap apa yang pernah kulihat di
dunia ini.
*****
“ Prakkk………” aku terbangun dalm tidurku. Suara gelas pecah itu begitu
jelas terdengr di telingaku. Kini aku tk sendiri, mataku melirik ke
depan, kulihat seorang wanita muda berseragam serba putih membersihkn
pecahan gelas di bawah kakinya, ia tak melihatku, tapi aku tetap
memandangnya, wajah yang taka sing dalam hidupku, yang selalu tersenyum
ramah dan mengajarkan huruf – hurf Al – Qur’an padaku.
“ Kak Latiefa……” aku mulai bersura.
Ia
tak mendengarku, barangkali suaraku terlalu lirih untuk memanggilnya.
Aku berusaha memanggilnya kembali, tapi ia tetap pergi membawa pecahn
gelas itu menjauh dariku. Kini aku sadar aku tak lagi berada di tempat
yang menyedihkan itu lagi. Tenda biru ini berdiri tegak melindungiku
dari panasnya sinar matahari. Selimut berwarna putih lusuh menutupi
seluruh tubuhku. Tak lagi kuhirup aroma busuk bangkai dan darah, tapi
hatiku tetap merintih memanggil Abi dan Umiku.
“
Assef, kau sudah bangun….?” Kak Latiefa tersenyum melihatku. Aku hnya
mengedipkan mataku padanya, dan terus memandang wajahnya. Kini ada yang
berbeda pada wajah kak ltiefa, wajah putih bersih itu ternodai bekas
pukulan yng membiru di pipi kirinya. Mungkinkah tentara – tentara biadap
itu yang meninjunya. Kulihat jari tangannya berwarna merah memar, aku
tak tahu hal buruk apalagi yang menimpanya. Mataku mulai berkaca – kaca.
Tak sanggup aku memandangnya terlalu lama. Seakan tatapan matanya
menunjukkan penderitaan yang luar biasa, yang menghapus senyuman di
bibir merahnya. Ya Allah lindungi kak Latiefa.
Satu
minggu lebih aku terbaring di tenda biru ini, membiarkan kak Latiefa
menceritakan apa yang terjadi di negeri palestinaku ini. Menceritakan
kekejaman tentara – tentara berkulit merah, bom – bom yang selalu
menggelegar tanpa henti, nyawa Abi dan Umiku yang tak lagi tertolong,
ribuan pohon ghorkot yang selalu ditanam bangsa yahudi, dan banyak lagi
cerita – cerita mengesankan yang menusuk kedalam hati. Hatiku menjerit.
Aku ingin memenggal setiap kepala orang yang menimbulkan tetor dan
kerusakan di bUmi palestinaku ini.
“
Dor.. dor… dor…” desingan peluru terdengar begitu keras, terdengar
beberapa orang mulai menjerit. Kak Latiefa tak lagi melanjutkan
ceritanya. Wajahnya tampak panic, keringat dingin meluncur dari
keningnya.
“ Assef, kau dengar suara peluru itu…..?” kak Latiefa berbisik di telingaku.
“ Ia kak, aku mendengarnya.”
“
Mereka akan dating, tentara kejam itu akan membunuh kita assef. Kau
harus bersembunyi.” Suara kak latifa terdengar gugup, seakan ia ingin
menyelamatkanku.
“ Dor… dor…….. dor.” Suara tembakan it uterus terdengar, nadanya sama sekali tak bersahabat dan mengancam.
“
Assef, apapun yang terjadi kau harus tetap disini, jangan bergerak dan
jangan berbicara sedikitpun.” Kak Latiefa berbisik dan menutup seluruh
tubuhku dengan beberapa selimut. Aku menurutinya, aku diam dan tak
bergerak. Hanya telingaku yang akan merekam kejadian apa yang akan
terjadi.
“ Hey….. kau. Cepat ikut aku.” Terdengar seseorang lelaki memaksa.
“ Lepaskan aku………” kak Latiefa mulai melawan.
“ Sekali lagi kau berontak, akan ku tembak kepalamu.” Suara lelaki itu kembali terdengar mengancam.
“ Gadis cantik yang malang aku akan segera menikmati tubuhmu.” Terdengar suara lelaki lain yang ikut menyahut.
“ Kau mau apa dasar bajingan, apakah kau sudah tak punya otak.” Kak cintia mulai membantah.
“ Diam kau, jangan membuat kami marah dan membunuhmu wanita cantik.”
“ Lepaskan aku bajingan…………..!”
“ Sudahlah ayo cepat bersenang – senang denganku.”
“ Lepaskan aku bajingan, atau akan ku tampar wajahmu. Pluakkk………”
“ Dor… dor… dor…, mampus kau. “
Tubuhku
gemetar mendengar tembakan itu. Kuingin membuka selimut yang menutupi
tubuhku, tapi pesan kak Latiefa masih mencegahku. Aku tetap diam hingga
terdengar suara derap kaki menjauh. Dan kubuka selimut yang menutupi
tubuhku.
“
Allahuakbar……..” hatiku merintih melihat kak Latiefa tersungkur di
tanah. Darah segar mengucur dari kepalanya. Aku berjalan mendekat ke
arahnya. Tangannya sangat dingin. Tak ada nadi yang berdenyut di
pergelangan tangannya. Aku tak menangis tapi air mataku tetap meleleh.
Tak ada lagi orang di dekatku, semua orang yang ku sayangi telah pergi
meninggalkanku. Hanya ada kenangan dan penderitaan yang mencAbik – cAbik
ingatanku. Menimbulkan rasa perih dan mengeluarkan bulir – bulir bening
dalam mataku. Tak ada lagi harapan dalam diriku. Orang – orang fasik
zionis itu telah menghancurkannya, menebar teror di mana – mana,
menjarah setiap jengkal tanah palestinaku, meratakan dan membangun
bangunan baru, mengusir setiap manusia muslim yang hidup, menyiksanya
dan menembaknya hingga mati, menebar bom di setiap penjuru, merampas ibu
dan ayah kami, ingin sekali aku meremukkan tulang – tulang para
penjajah itu.
Sore
ini matahari bersinar kemerahan, sinar panasnya tak terlalu menyengat.
Aku serahkan tubuh kecilku ini kepada Allah. Aku akan berlari menuju pos
– pos tentara kejam itu. Sebuah batu merah kugenggam erat dalam tangan
kananku. Akan kutantang mereka yang telah merusak bUmi Allah tercinta
ini. Tak peduli apa yang akan menimpaku. Tekatku sudah bulat, penjajah
harus di singkirkan walaupun harus dengan tetesan darah penghabisan.
Kini aku berlari meninggalkan tenda biru di belakangku, menerjang debu –
debu berserakan. Menginjak puing – puing reruntuhan. Membiarkan tubuhku
tetap maju hingga berdiri tegak di depan pos – pos tentara kejih itu
beristirahat. Beberapa tentara bertubuh kekar mulai berdiri menenteng
senapan ke arahku. Ku ucapkan takbir dengan keras , kepalan tanganku
mengayun cepat untuk melempar sebuah batu dalam genggamanku. Batu itu
melaju cepat menghantam dan menembus salah satu mata milik tentara
bertubuh kekar itu. Tentara jahannam itu menjerit kesakitan, bersamaan
dengan beberapa peluru yang menghujani jantungku. Aku terjatuh, darah
mengalir deras dari dadaku. Membasahi baju coklat lusuh di tubuhku. Luka
itu terasa begitu perih dan menyakitkan.
Aku
tak berteriak ataupun menjerit minta tolong pada siapapun, hanya air
mata pedih yang meleleh mengalir begitu deras hingga pandanganku kabur.
Tiada lagi Abi atau Umi yang akan mengusap air mataku. Dalam hati aku
merintih sebelum ajalku datang.
“
Wahai manusia yang mengaku muslim, mengapa kau tak membantuku mengusir
penjajah di depanku ini…………….?” Pandanganku terasa semakin gelap.
“ Allahuakbar……….” Ucapku pelan menahan panas yang membakar jantungku.
